Dompet saya hilang !!Di dalamnya ada uang, nota pembayaran, dan kunci rumah. Untung pintu belakang masih ada serepnya. Jadi nggak perlu dobrak pintu buat masuk rumah sendiri. Saya ingat banget di mana naruhnya. Tapi nggak usah disebut yak. Ntar ketahuan siapa yang ngambil. Nggak seru kan, kalau jadi ghibah?. Kesal? Banget. Uang dua ratus sekian ribu di dalamnya sedianya bakal saya barter dengan susu dan belanja mingguan. Kunci rumah juga baru dibetulin beberapa bulan lalu. Empet bener dah! Manusiawi kan, kalau saya kesal.
Kesebalan saya sedikit –sekali lagi, sedikit- terobati saat melintas di perempatan jalan dan terhenti di traficlight ke sekian. Seorang ibu berbaju lusuh, menggendong anak sepantaran anak saya yang menghisap botol berisi -hanya- air, menadahkan tangan ke kaca jendela kami. Sesaat jantung saya terjedug. Apa rasanya coba, jika dua ratus ribu itu adalah milik ibu itu. pasti rasa kesalnya berlipat-pat-gulipat. Saya mah, masih ada simpanan yang lain. Dompet suami juga masih aman-aman saja.
Mobil berjalan setelah saya anggukkan kepala pada ibu itu dan hati saya kembali berjedug-dug. Terbetik kembali rasa kasihan itu. Bukan mengasihani diri sendiri juga bukan kasihan pada ibu tadi. Saya jatuh kasihan pada orang yang mengambil dompet berikut isi-isinya.
Hah ?! Iya bener! Karena dia (hampir bisa dipastikan) akan makan dari duit tadi. Memasukkan benda yang didapat dari derita orang lain ke dalam perutnya. Mengubahnya menjadi kerak hitam yang mengaliri darahnya, meracuni jantung dan hatinya. Bukankah setiap yang dimakan (bac> konsumsi) akan memberi sentuhan pada kejiwaan dan kontak sadar kita. Mungkin dia sudah terbiasa main ambil seperti itu tapi bagaimana dengan nuraninya yang tersiksa? Bagaimana dengan hatinya yang ternoda? Dua ratus ribu bisa dicari lagi, tapi kemana harus mencari pembersih dan toning untuk noktah di dalam dada akibat perbuatan sesaat tadi? Bagaimana juga bila perbuatan tadi menggiring pada perbuatan kelam yang lain. Menjadikan virus yang menjangkitinya dan menyekapnya pada satu mata rantai kegelapan yang gelap berlipat-lipat. Misalnya, dia ketahuan lalu dia akan berbohong. Satu kebohongan akan ditutupi dengan kebohongan yang lain dan terus berputar seperti itu. Atau lebih parah lagi, insiden tadi menggiringnya untuk melakukannya lagi dan lagi. Noda di hatinya akan membusuk dan membuatnya terhalang dari merasa bersalah telah merugikan orang lain. Lalu dia akan sangat terbiasa sembarangan mengambil hak orang lain. Sepertinya satu kejahatan akan selalu diikuti dengan kejahatan yang lain. Semoga saja tidak.
Bagaimanapun, saya mengunci mulut dari mendo’akan kejelekan pada orang lain. Itu tadi cuma gambaran imajinatif yang logis terjadi. Saya harap saya bisa selalu berucap ; ‘ memang bukan rejeki saya, semoga jatuh ke tangan yang lebih membutuhkan’
Oh.. dompet T.T
No comments:
Post a Comment